Yang tersisa dari hujan


Aku yang tak siap sendiri, saat hujan datang menjelang

Aku tak suka hujan.

Aku hanya suka suaranya. Suaranya saja.

Pada hitungan keberapa aku mengeja rintik hujan sore ini. Aku pernah menjadi muda-mudi yang memuja hujan, mengatakan makin kangen pada cintanya saat hujan, bertukar puisi saat hujan mengiringi, mendadak menangis karena kangen tak sampai ditengah deras.

Aku pernah memuja hujan. Dulu. Saat kita masih berjaya di udara.

Pernah kita saling memuja bahwa hujan adalah pertanda kita, bahwa hujan adalah indahnya cinta tuhan pada dunia, bahwa hujan adalah milik kita. Hujan adalah nyawa dari cinta kita yang hangat-hangatnya

Kita pernah merindu dalam diam deras hujan. Saat jauh meraja, aku diam, kau diam. Kita memang hujan lewat jendela beda. Pikirmu menerawangku jauh-jauh, terlebih pikirku. Aku tau betul alur ini. lalu berlomba-lombalah kita menumpahkan rindu pada deretan layar kecil ditangan, sekonyol-konyolnya perkataan, tapi itulah merindu. Tumpah ruah seiring hujan berhenti juga akhirnya ditempat kita. Tapi yang aku tau, rinduku tak pernah ikut reda.

Kita juga pernah tertawa riuh dalam hujan. Sepanjang jalan berdua, dibawah payung kecil berwarna orange menyala. Kita basah, payung hanya jadi pelengkap perjalanan kita. Lalu kita berujar, jalan kaki ditengah hujan dan payung kecil adalah bahagia. Bahagia adalah hujan, kita dan tawa.

Kita pernah menumpahkan amarah bersama hujan. Kita memang dua makhluk tak kenal lelah, meluapkan amarah dalam-dalam. Sering kali kita meluap tak tentu arah. Tapi hujan, hujan selalu menyelamatkanku. Aku hambur kedalam hujan, kaupun hambur mengejarku. Selalu ada pelukan dan kata maaf. Aku rindu itu, aku rindu hujan.

Lalu, aku benci hujan. Dalam deretan waktu yang tak kukenal baik sekarang. Hujan menyisakan sendiri, hujan menyisakan sepi, hujan menyisakan deretan waktu yang tak kenal belas kasihan. Aku mengerang, aku kesakitan.

Aku benci hujan, aku suka suaranya saja, hanya suaranya. Maafkan aku hujan, kau selalu saja jadi perantara diantara kita yang hilang, sekarang. Kau jadi perantara yang menyakitkan, sekarang.

Tapi aku selalu yakin, akan ada kita, diantara hujan, kabut, aku yang membaca novel, kau yan memetik gitar, aku yang membuat kopi tanpa gula, kau yang sekarang jadi perokok. Akan ada kita.