Surat untuk Pulau Buton


Sudah setahun berpisah dengan sebuah pulau kecil di Samudra Pasifik, berbatasan dengan Laut Banda, di tenggara kaki kanan pulau berbentuk K, pulau penghasil aspal terbesar di Indonesia, si Pulau yang jalannya tetap jelek walaupun melimpah aspal, Pulau Buton ku sayang, pulau butonku yang hanya bisa kukenang.

intronya lebay….

Majalengka, 06 Maret 2014
untuk Pulau Buton, untuk Pasarwajo, untuk Bau-bau, untuk Batauga, untuk Lasalimu, untuk deretan pantai yang hampir kuhabiskan semua cerita dan tulisan disana.

Maaf, sudah setahun tapi baru kepikiran sekarang untuk menuliskan surat untuk kamu disana, hubungan kita memang tidak dimulai dengan baik awalnya, ada sedikit cela aku pergi kesana, alasan untuk kabur dari segala penat yang ada di Bandung, meninggalkan skripsi yang saat itu harusnya segera diselesaikan.

Ternyata memilih bertemu denganmu adalah pilihan yang tepat. Menjadi guru di sekolah kecil yang lab komputernya rusak parah juga adalah kepingan pengalaman yang paling disimpan dalam otak. 4 bulan dengan sangat jauh dari kata sempurna mengajarkan 3 kelas Teknik Komputer Jaringan yang bahkan diluar bayangan susahnya, bagaimana bisa dilakukan tanpa lab komputer, rasanya  seperti sedang menerawang pada sebuah fantasi, jauh untuk kalian mengerti karena keterbatasan yang ada. Apakabar sekolah sekarang? masihkah guru-gurunya saling berbicara dibelakang punggung? apa sekarang ruang kelas sudah bertambah? masih banyak sampah? masih adakah sapi-sapi coklat yang berjemur di halaman sekolah saat matahari terik?
Lalu apakabar juga murid-murid yang tingginya bahkan melebihiku, kulitnya legam terbakar matahari dan bercampur bau laut, suaranya keras. Oia, murid-muridku, masih ingatkah kalian tentang kabel LAN yang kita beli ke kota demi praktek membuat kabel LAN straight dan cross? hehe.

Sebuah rumah dengan induk semang, Wakoko, seribu maaf mungkin tak akan cukup, Ibu dan Bapak. Perpisahan kita mendadak jadi bagian yang paling aku ingat, aku menangis ditunggu sebuah mobil yang hendak membawaku ke Pelabuhan, Ibu menangis, Bapak memberi banyak sekali wejangan tentang hidup. Padahal aku sudah agak payah diakhir-akhir kepulangan, tidak betah lagi, ingin segera pulang.

Pantai. Ah iya itu yang paling aku rindu. Pantai dibelakang rumah tempat menulis segala hal, tempat liat sunrise sebelum mandi, tempat renang sore-sore, tempat galau, tempat membaca buku. Pantai dibelakang rumah bisa melihat sebuah kapal tanker besar tempat menampung aspal yang hendak dibawa kabur dari Pulau Buton, kapalnya besar. Pantai dibelakang rumah itu, menyimpan banyak kenangan, tempat melarung surat-surat yang ditulis, entah surat itu kini sudah sampai dimana. Pantai dibelakang rumah menyimpan sejuta kangen yang dulu aku lempar pada banyak orang, orang yang saat itu jauh dari Pulau Buton. Pantai dibelakang rumah, dimana aku belajar bangkit dari keterpurukan yang dibawa dari Bandung, disanalah aku bangkit lagi. Hey pantai dibelakang rumah, sekarang apakabar kamu? baik-baiklah disana, ditempatnya, jangan sampai kamu kotor.

Untuk Bau-bau yang menyediakan weekend paling ditunggu, menyuguhkan malam minggu dengan patung naga dan sepiring junk food satu-satunya di kota itu. Tak ada yang paling ditunggu hanya demi kamu, Bau-bau. Demi Pantai Kamali, demi pantai nirwana, doa lakasa, pantai lakeba. Untuk Batauga yang tanpa sinyal telpon, untuk Lasalimu yang jauh diujung sana, dermaganya yang menjorok ke laut lepas.

Banyak yang tersisa disana, didalam jauh yang tak mudah dijangkau langkah, tak mudah dijangkau tangan. Banyak rindu yang hanya bisa dilempar untuk si pulau kecil ini. Bagaimana kalau kita rencanakan untuk berjumpa lagi? semoga…

dari jiwa yang merindu..
hnfkzwnwt